Chat with us, powered by LiveChat

Rabu, 08 Maret 2023

Bukan Untuk Saya

Somat berlibur ke rumah neneknya di desa. Kedatangan Somat disambut dengan sukacita oleh neneknya. Agar cucunya betah, nenek Somat memperlakukan Mamat dengan istimewa.


Untuk makan Somat, neneknya menyediakan makanan yang enak-enak. Sebelum Somat tidur, neneknya mendongeng. Setelah Somat tidur, neneknya tetap terjaga di dekat Somat untuk menjaga Somat dari gigitan nyamuk. Pokoknya, nenek Somat memperlakukan Somat dengan istimewa.


Suatu pagi nenek Somat menyediakan sarapan. Menunya nasi goreng, dua potong ayam kampung goreng, pisang, dan segelas air putih. Nenek Somat juga menunggui cucu kesayangannya itu saat sarapan.


"Bagaimana, Somat, masakan Nenek enak?"


"Wah, enak sekali, Nek." puji Somat yang membuat neneknya senang.


"Nasi goreng bikinan Nenek enak banget. Ayam gorengnya enak banget. Pokoknya semuanya enak banget."


"Kalau kamu di rumah, bagaimana dengan sarapanmu?"


"Kadang istimewa dan kadang juga biasa-biasa saja, Nek." jawab Somat jujur. "Tergantung keuangan ibu, kan, Nek?"


Nenek Somat tersenyum dan mengelus-elus rambut Mamat.


"Tapi kalau Somat sedang sarapan di rumah, ibu selalu membuat satu gelas susu, dua lembar roti bakar, dan dua butir telur setengah matang," jawab Somat.


Nenek Somat menganggukan kepala.


Keesokan harinya, Somat terheran-heran dengan menu sarapan yang disediakan neneknya. Di meja makan telah tersedia dua lembar roti bakar, dua butir telur ayam kampung setengah matang, dan satu gelas susu.


"Kenapa Mat?" nenek Somat terkejut karena dilihatnya Somat kurang suka dengan sarapan yang sudah ia sediakan.


"Bukankah sarapan seperti ini yang biasa kamu makan di rumah?"


"Nek," kata Somat, "yang biasa sarapan dengan dua lembar roti bakar, dua butir telur ayam kampung setengah matang dan satu gelas susu itu ibu! Bukan Somat, Nek!"

Selasa, 07 Maret 2023

Ransel Ajaib



Ibu fitri adalah guru di Sekolah Pelangi. Semua murid sangat mencintainya. Karena Bu fitri ramah, penyayang, menerangkan pelajaran apapun gampang dimengerti, dan mempunyai ransel Ajaib.


fitri juga menyayangi Ibu fitri. fitri baru sebulan pindah ke Sekolah Pelangi. Tapi fitri tidak percaya kalau Bu fitri mempunyai Ransel Ajaib.


“Tidak mungkin ada ransel Ajaib yang bisa mengeluarkan banyak benda.” Kata fitri.


“Kalau tidak percaya, ikut saja bila berjalan-jalan di tepi hutan,” timpal kasih, teman sebangku fitri.


Bu fitri sering mengajak jalan-jalan murid-muridnya. Dia menerangkan ilmu pengetahuan sambil langsung melihat alam. Bila jalan-jalan, Bu fitri selalu membawa ransel gendong ajaibnya. Ransel berwarna pink muda yang lucu. Di depannya digantung boneka monyet yang sedang tersenyum.


Waktu jalan-jalan ke perkampungan di tepi hutan, Bu fitri memberikan hadiah kepada saja yang ditemuinya. Ada yang diberi mi instan, susu bubuk, beras, tepung terigu, cangkul, baju, dan benda lainnya. Semua benda yang diberikan itu dikeluarkan dari ransel gendongnya.


Anak-anak, kita beristirahat di sini. Kita duduk melingkar,” kata Bu fitri setelah memasuki hutan. “Tapi sebelum kita makan, ada yang ingin diberi bagian terlebih dahulu.”


Bu fitri mengeluarkan banyak buah-buahan. Ada apel, pisang, pepaya, pear, jeruk, dan semangka. Tiba-tiba bermunculan banyak binatang. Ada kelinci, rusa, kura-kura, monyet, burung, dan entah apa lagi. fitri terkejut dan takut.


“Tenang saja, itu teman-teman Bu fitri , teman-teman kita juga,” kata kasih.


Setelah binatang itu pergi, Bu fitri mengeluarkan makanan dan minuman lagi. Setiap siswa mendapatkan sebungkus nasi dan lauknya, sebotol minuman mineral, dan sebuah buah-buahan. fitri takjub melihatnya. Ransel Bu fitri memang benar-benar ajaib.


Menjelang siang mereka pulang. Di perjalanan pulang, Bu fitri menghampiri fitri .


“fitri tidak usah heran dengan ransel Ibu.” Kata Bu fitri seperti tahu apa yang ada di pikiran fitri . “Ini adalah ransel ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu menakjubkan. Semakin kita memberikannya kepada orang lain, kepada makhluk lainnya di dunia ini, bukannya menjadi habis, tapi malah semakin banyak.”


fitri tersenyum.


“Makanya, fitri harus pintar, banyak membaca, banyak belajar,” sambung Bu fitri .


fitri memeluk Bu fitri . Dia berjanji akan belajar sungguh-sungguh, membaca sebanyak-banyaknya. Dia ingin mempunyai ransel pengetahuan yang ajaib. Dia ingin menjadi orang pintar yang membagikan ilmu pengetahuannya dengan bijaksana.

Senin, 06 Maret 2023

Sepatu Ditukar Makanan



“Lalalalalala….” Terdengar senandung dini di suatu sore yang cerah. Sesekali ia berlari kecil sambil melompat ceria. Hari ini dinibergembira karena dia berulang tahun. Mamanya tadi menghadiahkan uang seratus ribu rupiah, sesuai permintaannya. diniingin membeli sepatu dengan uang tersebut.


dini memang sudah lama ingin membeli sepatu merah muda. Sepatu itu terpajang di etalase toko dekat rumahnya. Sepulang sekolah tadi, dini melihat tulisan potongan harga di toko itu.


Wah, dini tambah bersemangat menuju toko sepatu itu.


“Nah tinggal menyeberang jalan, sampai deh! Tunggu, ya, sepatu, sebentar lagi kau akan menjadi milikku.” Kata dini dalam hati sambil tersenyum.


Baru saja ia akan menyeberang, tiba-tiba ada yang menarik ujung bajunya.


“Kak, minta Kak….. Hari ini saya belum makan.” Terdengar suara lirik anak laki-laki.


dini menoleh. Tampak seorang anak laki-laki berwajah sedih dan lesu. Badannya kurus, hanya ditutupi kaos tipis dan celana pendek kumal.


Kakinya pun tak beralaskan apa-apa. dini melihat anak itu dengan iba. Tetapi ia ingin segera pergi ke toko sepatu, takut sepatu itu dibeli oleh orang lain.

“Oh ya, aku kan punya uang lima ribuan untuk beli es krim,” gumam dini. Tangannya langsung merogoh saku bajunya.


Buru-buru ia memberikan uang itu kepada anak laki-laki itu.


Ketika menerima uang itu, wajah anak itu berubah gembira.


“Terima kasih, Kak!”


“Ya!” teriak dini sambil menyeberang jalan.


Setibanya di depan toko sepatu, dini segera masuk. Matanya langsung melihat sepasang sepatu merah muda berpita.


“Nah, ini dia yang kucari.” Kata dini gembira, sambil membawa sepatu merah jambu itu ke kasir.


Akan tetapi, setiba di depan kasir, dini tak bisa menemukan uangnya. Dengan gugup, diperiksanya semua kantong di bajunya, tetapi nihil.


Dengan wajah merah karena malu, dini akhirnya berkata kepada petugas kasir, “Maaf Mbak, saya enggak jadi beli.”


dini berjalan keluar toko dengan perasaan kecewa. Di depan toko, ada dua anak laki-laki yang menunggu dini. Salah satunya adalah anak pengemis tadi.


“Kakak!” sapa anak yang lebih besar sambil menghampiri dini.


“Terima kasih banyak, Kak! Kakak baik sekali memberikan uang seratus ribu kepada adik saya. Uang ini akan kami pakai untuk membeli makan selama beberapa hari. Juga untuk membeli obat Ibu. Sudah dua hari ini, Ibu kami sakit. Ayah kami sudah lama meninggal. Terima kasih banyak ya, Kak, terima kasih. Semoga Tuhan membalas kebaikan Kakak.” Sahut anak itu sambil menundukkan kepalanya berkali-kali.


“Ooh… yaa…” sahut dini sambil terbengong-bengong. Kemudian kedua anak itu pergi bergandengan meninggalkan dini yang masih tertegun.


Beberapa saat kemudian, dini tertawa sendiri. “Ternyata yang aku kasih tadi itu seratus ribuan, bukan lima ribuan. Pantas saja seratus ribuanku tidak ada! Hahaha…”


Entah mengapa, perasaan kecewa dini tadi langsung hilang, kini ia malah sangat gembira.


Bahkan lebih gembira daripada saat ia menerima uang itu dari Mama tadi. Setiba di rumah, dini segera memeluk mamanya.


“Terima kasih ya, Ma. Selama ini Mama sudah baik pada dini.” Kata dini sambil tersenyum.


Mama yang sedang memasak di dapur, jadi bingung.


“Loh, ada apa, Sayang? Mana sepatu merah mudanya?”


“Sudah aku tukar dengan makanan dan obat, Ma.” Kata dini sambil tertawa.


Mama bertambah bingung. Kemudian dini menceritakan kejadian tadi.


“Menerima itu menggembirakan. Namun, memberi ternyata jauh lebih menggembirakan hati ya, Ma.” Lanjut dini.


“Ah, anak Mama ini. Bertambah usia, ternyata semakin bijaksana.” puji Mama sambil mengusap lembut rambut dini .

Sabtu, 04 Maret 2023

Persahabatan Bunga Matahari



Semua teman di kelas tahu aku dan dina bersahabat karib. Mereka bilang, di mana ada tini, di situ ada dina. Namun ada satu perbedaan besar antara aku dan dina. Aku dari keluarga sederhana, dina hidup berkecukupan.


Untunglah, meski orang tuanya kaya, dina tidak sombong. dina bahkan betah main di rumahku yang sederhana. Selain bermain bersama, ada satu hal yang membuat dina senang di rumahku. Ia sangat menyukai bunga matahari yang tumbuh di halaman belakang rumahku. Sudah beberapa kali dina mencoba menanam bunga matahari di rumahnya, tetapi selalu gagal.


Persahabatanku dengan dina sungguh menyenangkan. Akan tetapi, aku merasa akan ada masalah besar bagi persahabatan kami. Semua berawal dari rencana dina untuk merayakan ulang tahunnya.


Tia berbisik akan memberikan kado boneka Barbie model terbaru. Caca akan memberi hadiah sepatu berlukis yang sedang trend. Sementara aku, sahabat terdekatnya, bingung akan memberikan hadiah apa.


Sore itu, Mbak luna heran melihat uang berserakan di dekat pecahan celengan kelinciku. “Loh, kok tabunganmu diambi? Mau beli apa?” tanyanya.


“Mbak, kalau seratus ribu, bisa untuk beli tas bagus, enggak?” tanyaku.


Mbak luna meraih tas sekolahku dan memeriksanya.


Mungkin bisa, tapi tas ini masih bisa dipakai. Tidak ada yang rusak, tuh.” Kata kakakku sambil meletakkan tas itu.


Tidak ada yang rusak. Itulah kebiasaan di keluargaku. Kami hanya membeli barang baru kalau barang lama sudah betul-betul rusak atau hilang.


Pulang sekolah, aku mampir ke toko peralatan sekolah. Di rak tampak berjajar tas berhias kepala boneka. Juga ada buku tulis dengan kertas aneka warna, kotak pensil, rautan, penghapus, dan penggaris. Semuanya lucu dan menarik.


Aku memeriksa harga yang ditempel di sebuah tas yang sangat bagus. Uangku cukup, pikirku lega. Akan tetapi, tiba-tiba aku teringat pada tas baru yang belum sampai sebulan dipakai dina. Tas itu jauh lebih bagus dari tas yang akan kubeli ini. Aku jadi ragu dan membatalkan niatku membeli tas itu.


Sampai di rumah, Mbak luna tampak sedang bergegas memasukkan beberapa barang ke dalam tas. “Nenek sakit. Mbak akan mengantar tas ini ke stasiun. Kamu jaga rumah ya.”


Keesokan paginya, dina mengingatkan kami semua agar tidak lupa datang ke rumahnya sore nanti. Apa yang harus aku lakukan? Aku tak bisa ikut pesta tanpa kado. Saking bingungnya, tanpa sengaja aku mengeluh pelan dengan dahi berkerut.


dina menoleh, “Kamu sakit ya?” tanyanya cemas.


Ini memberiku ide. Aku mengangguk sambil menampilkan wajah orang sakit perut. dina segera mengantarku ke UKS. Baru kali ini aku berbohong kepadanya. Aku betul-betul merasa bersalah, tetapi aku tak punya alasan lain untuk tidak datang ke pestanya.


 ***


Jam di ruang tengah berdentang. Saat ini tepat pukul 5 sore. Pasti teman-teman sedang bertepuk tangan, menyambut dina meniup lilin berbentuk angka 10.


“Maafkan aku, dina. Aku tak punya kado untukmu.” Bisikku sambil mengusap-usap bunga matahari.


Langkah kaki Mbak luna mengagetkanku,” Ran, bantu Mbak memindahkan tanaman di pot-pot ini ya,” ujarnya sambil mengeluarkan pot-pot kecil dan 2 keranjang rotan.


Aku mau memberi hadiah untuk Bu vera, guru les matematikaku.”


“Aneh, hadIah kok tanaman. Memang pantas?” tanyaku.


“Loh, kenapa tidak? Bu vera suka bunga. Bunga potong, kan, cepat layu. Ini lebih awet.”


Terlihat dua pot yang tersisa aku tanami pohon bunga matahari kecil. Kedua pot itu aku susun di keranjang rotan, lalu ku bungkus plastik dan ku hiasi dengan pita besar. Mirip parsel. Besok aku bisa mengantar kado ini ke rumah dina, pikirku.


Esok paginya, aku sudah meletakkan keranjang rotan itu di atas sepedaku. Tiba-tiba mobil dina berhenti di depan rumahku.


“Hei, kau sudah sembuh? Aku khawatir sakitmu parah.” Seru dina sambil turun dari mobil.


Aku tersenyum, “Aku baru mau mengantar kado ini. Belum terlambat, kan?”


dina menjerit kegirangan. Digendongnya keranjang berpita itu. “Wah, kok tau, sih, kalau aku ingin bunga matahari?”


Aku senang melihat sahabatku kegirangan. Apalagi melihatnya begitu rajin merawat kedua pohon itu. Anehnya keduanya lalu tumbuh subur dan berbunga. Bahkan ketika akhirnya dina pindah ke kota lain, ia membawa biji-biji bunga itu untuk ditanam di rumahnya yang baru.


Suatu hari, bunyi sepeda motor menderu di depan rumah. Pak Pos menyerahkan sebuah paket untukku. Tak sabar aku buka. Sebuah lukisan dan selembar kartu.


Aku bukan tukang kebun yang pintar. Karena itu, aku khawatir jangan-jangan bunga matahari hadiahmu akan mati. Agar abadi, aku coba melukisnya. Lukisan tidak akan mati, meskipun cuaca dan musim berganti. Begitu pula persahabatan kita. Takkan putus meskipun tahun-tahun berlalu dan mengantarkan kita menjadi dewasa.


Mataku berkaca-kaca. Ah dina.

Jumat, 03 Maret 2023

Mantra Sang Juara

“Sudah ya, Ma.” Beni menyingkirkan susunya yang masih tersisa setengah.


Mama yang sedang mengoleskan mentega ke roti memandangnya heran. “Tadi rotinya enggak habis. Sekarang susunya.” Keluh Mama.


Beni memaksakan senyum, “Perutku sudah enggak muat lagi, nih, Ma.”


Mama menghela napas maklum. Dia tahu, Beni hari ini akan ulangan matematika. Beni jika mau ulangan selalu begitu. Nafsu makannya mendadak seperti hilang. Untungnya setelah ulangan, nafsu makan anak tunggalnya itu akan kembali seperti biasa.


“Ya, sudah. Nih, bawa roti buat bekal saja, ya. Nanti habis ulangan, kamu bisa makan.” Bujuk Mama.


Beni mengangguk lemah. Pikirannya benar-benar sudah tersita ke ulangan nanti.


“Kamu kan sudah belajar semalam.” Celetuk Kak dirga di hadapannya.


Mama tersenyum maklum sambil mengangkat bahu “Beni gitu, lho. Dia memang selalu begitu kalau mau ulangan.”


Beni mengangguk membenarkan. “Iya, aku sudah berusaha. Tapi rasanya, kok, susah jadi juara kelas, ya.”


“Kamu sudah bagus Loh, Ki. Sudah lima besar. Kan, sudah lumayan. Iya, enggak?” Mama mengingatkan.


“Betul Ki.” Sahut Kak Dirga mengiyakan.


Kak Dirga adalah sepupu Beni dari Bandung. Ia baru saja datang semalam. Kabarnya sih, sepupunya ini baru saja dapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Nah, sebelum berangkat, ia mau sekalian pamit dulu kepada Mama dan Papa Beni.


“Waktu SD, Kakak malah enggak masuk sepuluh besar di kelas,” lanjut Kak Dirga. “Tapi setelah Kakak punya mantra ajaib, baru deh…”


“Hah… mantra ajaib? Mau dong, Kak!”


Kak Dirga tersenyum. “Nanti siang ya. Kamu sekarang kan, harus ke sekolah.”


“Tapi kan, aku butuhnya sekarang, Kak.” Kata Beni tak sabar.


Mama dan Kak Dirga tersenyum melihat tingkah Beni.


“Nah, sekarang ilmu pembukanya dulu. Sebelum ulangan Tarik napas. Tenang. Katakan aku bisa. Jangan lupa berdoa. Itu dulu, deh.” Urai Kak Dirga.


Beni mendengarkan baik-baik perkataan sepupunya itu. Dia menarik napas panjang dan tersenyum.


Ting… tong…


“Nah, itu, Om adi sudah datang,” Mama mengingatkan.


“Sampai nanti, ya Kak!” beni melambaikan tangan sambil berlari kecil menuju mobil jemputannya.


***


Pulang sekolah, Beni memeriksa kamar tidur tamu di lantai atas. Kosong. Sepertinya Kak Dirga belum pulang.


“Ya, gimana dong. Padahal aku mau menagih janji mantra Kak Dirga.” Gumamnya. Dia ingat, dua hari lagi dia ada ulangan IPA.


Akhirnya, Beni duduk saja di meja belajarnya. Dia berusaha konsentrasi, tapi rasanya masih banyak hal yang belum bisa dihafalnya dengan baik.


“Sim salabim. Alakazam.”


Beni gelagapan. Dicarinya sumber suara tadi. Loh, kenapa Kak Dirga sudah berpakaian seperti Aladin gitu?


“Nah, minum!” Kak Dirga menyodorkan segelas air. Warnanya kelabu, keruh, seperti air hujan. Tapi yang ini lebih kental.


“Apa ini Kak?” Beni mengernyit muka menerima gelas itu. Didekatinya ke hidung, huek… baunya nggak enak. Dia pun spontan menjauhkannya dari hidung.


“Ayo,” desak Kak Dirga.


“Huk, huk…” belum juga air terminum, Beni terbatuk. Gelagapan mencari udara segar!


Beni masih terus terbatuk. Kak Wirya membantu menenangkannya. Tapi… ah sepertinya aku tadi bermimpi, bisik Beni dalam hati.


Dia memperhatikan sepupunya itu. Tak ada lagi baju Aladin, seperti yang dikenakannya tadi.


Cukup lama Beni terbatuk, sebelum akhirnya bisa menenangkan diri. Sepertinya tadi ia tertidur sampai dia jadi terbatuk,


“Bagaimana?” tegur Kak Wirya.


Beni tersipu malu. “Ayo, Kak. Katanya mau mengajarkan aku mantra.” Beni mengalihkan perhatian.


“Oke, mana yang mau kamu hafalkan?” Kak Dirga membalik buku di hadapan Beni. “Sains memang banyak hafalannya, ya?”


“IPS juga Kak. Bahasa apalagi. Ah, semuanya deh. Mungkin Cuma matematika yang tidak. Eh… tapi enggak juga, sih. Menghafal satuan, aku juga masih sering tertukar.” Serentetan kalimat berhamburan keluar dari mulut Beni.


Kak Dirga tersenyum menanggapi.


“Ini nih, Kak.” Beni menunjuk halaman buku yang akan dihafalnya. “Aku dari tadi nggak bisa menghafal alat-alat ekskresi pada manusia.”


Beni memang merasa kesulitan. Ada saja hafalan yang tertinggal. Paling sering yang ketinggalan itu hati. Menurutnya, mengingat paru-paru, ginjal, dan kulit lebih mudah karena bisa dibayangkan sehari-hari.


“Pahaku gatal.” Terdengar suara lirik Kak Dirga.


Spontan, Beni melihat ke kaki Kak Dirga. Katanya gatal, tapi kok, tidak digaruk. Dia hanya memperhatikan buku yang dibuka Beni. Tak terlihat kalau pahanya memang gatal.


“Apa Kak?” tanya Beni bingung.


“Pahaku gatal,” jawab Kak Dirga singkat.


Digaruk dong, Kak. Mungkin tadi digigit nyamuk. Tapi memakai celana setebal itu, kok, masih bisa digigit nyamuk ya?” Beni heran melihat celana jin tebal yang digunakan Kak Dirga.


Kak Dirga menoleh menatap Beni. Sepertinya, dia kebingungan mendengar ucapan Beni. Tangannya menunjuk ke halaman buku yang terbuka.


“Ini lho, PAru-paru, HAti, KUlit, dan GinjAL bisa disingkat jadi PAHAKU GATAL.” Urai Kak Dirga.


Awalnya Beni tak mengerti. Untunglah kakak sepupunya itu mengulanginya sekali lagi. Ternyata membuat singkatan dari beberapa hal yang harus dihafal bisa memudahkan.


“Oh, jadi itu mantranya!” seru Beni senang. Dia kini mengerti apa yang dimaksud dengan mantra ajaib oleh Kak Dirga.


Kak Dirga lalu asyik memberikan contoh-contoh mantra ajaib lainnya. Ada mantra MEVE BUMAJU SAUNEP untuk urutan planet. Ada juga mantra MEJIKU HIBINIU untuk warna-warna Pelangi.


Ternyata, setiap orang bisa menciptakan mantranya sendiri-sendiri. Tidak harus sama dengan orang lain. Yang penting, mengerti dan bisa memudahkan untuk menghafal dengan baik. Cara ini juga dikenal sebagai jembatan keledai.


“Memangnya mana keledainya, Kak?” celetuk Beni.


“Entahlah. Tapi, yang penting cara ini bisa membantu kita menghafal apa pun dengan mudah.”


“Asyik. Aku mau ah, bikin mantra yang banyak. Supaya aku bisa menjadi juara kelas.” seru Beni senang.

Kamis, 02 Maret 2023

Pentas Seni yang Berantakan

Pentas seni dilakukan setiap 1 tahun di sekolah. Tahun ini aku menjadi panitia yang mengurus pentas seni tersebut.


Rasanya seru menyiapkan pentas seni bersama teman-teman, meskipun pada akhirnya terdapat kekacauan di dalamnya.


Pentas seni dilaksanakan berurutan dari kelas 10 sampai 12. Kami juga turut menyiapkan properti dan kostum sebagai panitia.


Saat penampilan terakhir, temanku membuat kekacauan dengan salah menampilkan properti.


Properti yang ditampilkan adalah properti pentas drama tentang pembunuhan, sedangkan penampilan selanjutnya adalah tentang drama peri.


Aku bertindak sebagai MC yang membacakan judul pentas seninya. Seketika langsung terkejut dan panic ketika melihat properti drama pembunuhan.


Aku berteriak memanggil temanku, namun lupa jika di depan mulutku ada mic sehingga kepanikan panitia mulia terbaca oleh semua penonton.


Namun, anehnya semua penonton tertawa melihat peristiwa ini. Teman panitia lain mulai berlarian mengganti properti, sampai pentas drama bisa diselenggarakan kembali.


Saat membicarakannya bersama panitia lain, aku dan teman-teman tertawa. Pengalaman ini sangat lucu sekaligus membuat panic.

Rabu, 01 Maret 2023

Kehidupan clarisa

clarisa lahir dari keluarga sangat berada, namun ketika orang tuanya memutuskan untuk berpisah, 

calrisa harus ikut ibunya dan mulai hidup seadanya.


clarisa awalnya terkejut dengan perubahan hidupnya yang cukup drastis, 

namun ia berusaha menjalaninya bersama ibunya sambil terus tersenyum.


Namun melihat ibunya selalu sedih di kamar sepanjang malam juga membuat clarisa merasa sangat iba.


clarisa bertekad untuk membuat kehidupannya berubah, ia juga bertekad membuat ibunya bahagia lagi. 

clarisa memutuskan untuk rajin belajar dan selalu mencari informasi tentang beasiswa.


clarisa selalu berhasil mendapatkan beasiswa karena kepintarannya. Ia selalu mendapat pujian dari para guru dan dosen.


clarisa akhirnya langsung mendapat pekerjaan dengan mudah setelah lulus. 

clarisa mendapat pekerjaan yang bagus di perusahaan ternama.


clarisa mengumpulkan uang sampai bisa membeli rumah bagus untuk ibunya dan dirinya.


clarisa merasa berhasil mewujudkan impiannya. Namun, ayahnya datang di kemudian hari karena bangkrut. 

Ayahnya meminta uang dan tempat tinggal. 


Meskipun masih marah dengan perbuatan ayahnya dahulu kepada dirinya dan ibunya, 

namun clarisa berusaha menerima karena itu ayahnya.


clarisa mengajak ayahnya tinggal bersama, kemudian ayah dan ibunya memutuskan rujuk. 

clarisa sangat bahagia saat mengetahuinya.

Tempat Wisata Di Daerah Garut

 Tempat Wisata Di Daerah Garut   Tempat Wisata Di Daerah Garut  Garut adalah sebuah kota di Jawa Barat yang memiliki keindahan alam yang men...